Food Culture

Berkunjung ke FIB, Universitas Indonesia demi Sangga Buwana

Salam Food Explorer!

Setelah melewati UTS yang melelahkan seperti biasanya, tugas masih belum selesai. Beberapa hari lalu, tepatnya 25 Oktober 2016, saya bersama dengan rekan-rekan saya satu kelompok, ada Yolanda, Rio, Vivi, dan Emely, akan berkunjung ke Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok (FIB-UI) untuk bertemu dengan salah satu narasumber, yaitu bapak Prapto Yuwono (dosen di Prodi Jawa, FIB-UI). Kami akan bertanya-tanya tentang kehidupan zaman Sultan Hamengkubuwana VII, di mana makanan sangga buwana mulai ada. By the way, kalian sudah baca postingan saya tentang Sangga Buwana atau Songgo Buwono bukan? Kalau belum, klik di sini ya.

Well, saat ini saya mau cerita dulu bagaimana saya bisa mendapatkan narasumber. Mungkin dapat berguna buat teman-teman yang mendapatkan tugas untuk wawancara tentang kebudayaan.

Saya sudah mulai menghubungi FIB-UI sejak bulan September 2016 lalu melalui nomor telepon yang tertera di website fib.ui.ac.id dengan tujuan untuk mencari narasumber yang mengerti tentang kebudayaan Jawa, khususnya Yogyakarta. Saya pun dihubungkan dengan Program Studi Jawa. Surat dari Universitas Surya diperlukan untuk mengajukan permohonan pencarian narasumber tersebut. Setelah beberapa minggu, surat pun jadi dan sudah di tanda tangan dekan saya. Langsung saja saya kirim ke Kampus UI Depok dengan menggunakan JNE (1 hari sampai, harga 18rb dari Tangerang).

capture
Surat Pengantar

Dua hari kemudian, saya dihubungi oleh Kaprodi Jawa, FIB-UI, yaitu Ibu Dwi Puspitorini. Beliau memberikan saya nomor Pak Prapto Yuwono, yang merupakan dosen Kebudayaan Jawa, Kebudayaan Indonesia,  di Program Studi Jawa FIB UI yang memahami kebudayaan Yogyakarta. Saya pun menghubungi beliau dan kami bisa datang ke Gedung 2 FIB-UI pada tanggal 25 Oktober 2016.

Ya! Tanggal 25 Oktober 2016 pun datang. Terpaksa hari itu saya dan teman-teman 1 kelompok harus bolos kelas karena harus siap-siap dari pagi untuk berangkat ke FIB-UI. Kami berangkat naik kereta, dari stasiun Rawa Buntu menuju stasiun Universitas Indonesia. Ya, kereta merupakan transportasi yang cukup murah, maklum mahasiswa perlu cari yang murah-murah apalagi tanggal tua haha. Ditambah lagi, ketika sampai di stasiun Universitas Indonesia, ada bus kuning yang siap membawa mahasiswa keliling UI, dari satu fakultas ke fakultas naik. The most important is it is free! yeay! Tak perlu keluar uang lagi untuk pergi ke FIB-UI.

Kampus UI luas sekali, kami salah naik bus kuning, jadi mutarnya agak jauh dan lama. However, yang penting sampai ke FIB UI juga akhirnya. Kami langsung makan siang di kantin sana, dan setelah itu baru bertemu dengan Pak Prapto Yuwono.

Senangnya bisa bertemu dengan beliau, beliau sangat welcome dan terbuka. Beliau bercerita banyak hal mengenai kehidupan zaman Sultan Hamengkubuwana VII, dan sekilas mengenai panggung sangga buwana dan hubungannya dengan makanan sangga buwana. Penasaran seperti apa hasil wawancaranya? tunggu ya, kami akan buat video mengenai sangga buwana nantinya haha.

Setelah wawancara berakhir, kami akhiri dengan pemberian kenang-kenangan dan juga foto bersama. Yap, kami kembali ke stasiun rawa buntu dengan naik kereta lagi, hanya saja kali ini sempit-sempitan karena pulang kerja. Well, demi cost yang murah, kami rela sempit-sempitan hahaha.

This slideshow requires JavaScript.

Sekian cerita dari saya, semoga cerita ini bermanfaat buat teman-teman yang ingin mencari narasumber di FIB UI.

Salam food explorer!

Food Culture

Kerak Telor, Omelet dari Ibu Kota

Halo food explorer!

Hari ini saya akan bercerita sedikit tentang salah satu makanan favorit saya yang berasal dari Jakarta, ibu kota kita tercinta, yaitu Kerak Telor. Belum ke Jakarta namanya kalo kalian belum mencoba makanan sejenis omelet yang satu ini.

kerak-telor-maksindo
Kerak Telor, Omelet khas Jakarta

Kerak telor ini terbuat dari beberapa bahan, seperti telur ayam/bebek, beras ketan putih, ebi kering, bawang goreng, kelapa sangrai, cabe merah, kencur, jahe, merica, garam dan gula pasir. Keunikannya juga ada di cara masaknya teman-teman. Ketika sudah telur sudah setengah matang, wajannya langsung dibalik sehingga langsung kena arangnya dan hasilnya agak-agak gosong dan terbentuk kerak. Itulah sebabnya mengapa disebut Kerak Telor.

396916_2778190767082_1027527330_32452695_304384600_n
Pedagang Kerak Telor

Lalu, kira-kira bagaimana sih asal-usul dari kerak telor ini??

Menurut sejarah, kerak telor ini sudah ada sejak masa penjajahan kolonial Belanda pada zaman dahulu di Batavia (Jakarta). Saat itu Batavia masih banyak ditumbuhi banyak pohon kelapa, itulah mengapa Jakarta juga disebut sunda kelapa. Warga Batavia banyak memanfaatkan kelapa di masakannya, seperti contohnya soto betawi, nasi uduk, dll. Iseng-iseng mencoba untuk mencampurkan beras ketan, telor, kelapa parut dan bumbu dapur lainnya, jadilah masakan yang enak pula yaitu kerak telor. Kerak telor sempat menjadi makanan yang dihidangkan di acara-acara besar seperti hajatan pada zaman tersebut.

Kalau teman-teman penasaran dengan rasanya, kerak telor ini banyak ditemui di Pekan Raya Jakarta setiap tahunnya. Datanglah ke Pekan Raya Jakarta, anda akan melihat puluhan bahkan ratusan penjual kerak telor yang tentunya selalu ramai pembeli. Jadi, yuk segera cobain makanan khas Jakarta yang satu ini. Awas ketagihan ya hahaha!

Salam,

Food explorer

Food Culture

Songgo Buwono, si Kue Sus Kesukaan Sultan Hamengkubuwono!

Salam food explorer!

Kali ini kita berkelana ke Yogyakarta yuk! Kota ini sungguh indah, penuh dengan budaya. Tentunya akan sangat menarik untuk teman-teman yang suka jalan-jalan dan mencintai budaya Indonesia. Ngomong-ngomong tentang Jogja, kota pendidikan yang satu ini mempunyai banyak sekali makanan unik dan murah yang saya dan pacar saya temui ketika berjalan-jalan ke sana bulan Juli-Agustus 2016 lalu. Seperti yang telah saya bahas di post sebelumnya, salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Pasar Kangen. Yap, sesuai namanya, pasar ini cocok untuk kita-kita yang kangen dengan makanan jadul “jaman dulu”. Di sana ada 1 kios/tenant yang sangat menarik perhatian kami, yaitu kios yang menjual makanan kesukaan Sultan Hamengkubuwono!

This slideshow requires JavaScript.

Ada banyak sekali makanan kesukaan sultan yang dijual di sana, dan yang paling menarik dan cukup besar adalah Songgo Buwono. Hmmm, dari namanya saja masih belum kebayang apa sih Songgo Buwono itu. Untungnya. di kios ini ternyata ada poster yang menjelaskan secara singkat apa itu Songgo Buwono.

037640200_1435984610-20150704-songgo_buwono-yogya1
Ini dia penampakan dari Songgo Buwono

Jadi, songgo buwono  berbentuk seperti kue sus, yang berisi ragout ayam, ditambah dengan telur rebus, acar. dan selada, serta ditambah dengan mayones yang lezat sekali. Konon katanya, songgo buwono ini merupakan ide dari Sultan Hamengkubuwono VII yang prihatin akan kebiasaan makan rakyatnya yang kurang sehat. Saat itu ada makanan sejenis burger yang tahan lama namun gizinya tidak ada. Muncullah ide untuk membuat songgo buwono ini yang bergizi (segar/fresh) karena apabila dibuat hari ini, besoknya bisa jadi sudah rusak. Arti songgo buwono sendiri adalah “menyangga bumi”, di mana songgo artinya “menyangga”, dan buwono adalah “bumi”. Makanan ini juga sering dijumpai di hajatan pernikahan dengan harapan dapat menyangga kehidupan baru secara mandiri.

Lalu kira-kira apa sih filosofi setiap bahan/komposisinya?

Songgo buwono menggambarkan langit, bumi dan seisinya. Selada yang diletakkan pada bagian dasar songgo buwono ini melambangkan tumbuhan yang menyangga bumi. Tumbuhan-tumbuhan ini harus dijaga agar tetap lestari di bumi. Kue sus itu sendiri merupakan lambang dari bumi kita tercinta. Selain itu isi dari kue sus adalah ragout ayam (atau kadang sapi), yang melambangkan penduduk di bumi ini. Langit dan bintang dilambangkan secara berturut-turut dengan mayones dan acar timun. Sementara gunung, dilambangkan dengan telur rebus yang dipotong setengah.

Deskripsi rasa? Wah ini sulit dideskripsikan saking enaknya teman-teman. Bagi teman-teman yang ke Jogja, sangat disarankan untuk memburu makanan ini. Ada manis, asin, dan gurihnya dari ragout ayam, mayones yang asam-asam manis, acar yang kecut-kecut segar, kue sus yang empuk, selada yang masih fresh. Pokok’e komplit deh di sini. Rasanya ingin beli lagi kalau ada di Tangerang haha.

Well, mungkin bagi kalian yang penasaran sekali dengan makanan ini, tapi belum bisa menemukannya di daerah kalian masing-masing karena belum sempat ke Jogja, boleh banget dicoba untuk masak sendiri. Saya rekomendasikan cara buatnya di video ini:
Cara membuat songgo buwono

Sekian dulu dari saya tentang makanan kesukaan sultan Hamengkubuwono yaitu Songgo Buwono. Semoga bermanfaat!

Salam~